1. Kasus “Menghina Jogjakarta Lewat Media Sosial,
Florence Terjerat Hukum”
Media
Sosial kini memang tengah digandrungi banyak kalangan, mulai dari anak kecil,
anak muda hingga orang tua pun banyak yang menggunakannya. Bila tak hati-hati,
seseorang pengguna internet bisa berurusan dengan penegak hukum. Termasuk
kecerobohan yang membuat mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada (UGM) Florence Sihombing
terjerat kasus hukum, akibat kicauannya di media social.
Ulah
Florence ini bermula ketika ia tengah mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) di salah
satu SPBU di Yogyakarta. Ia dianggap tidak mau mengantre, saat itu ia yang
mengendarai sepeda motor masuk ke jalur mobil di bagian Pertamax 95. Kekesalan
Florence pun diungkapkan melalui akun Path miliknya dengan kalimat memaki-maki
Kota Pelajar tersebut. “Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman
Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja,” tulis Florence dalam Path @florenceje,
Kamis 28 Agustus 2014. Makian melalui status di media sosial itu sontak
menyebar di dunia maya. Kicauan tersebut pun menuai umpatan di berbagai media
sosial. Beberapa waktu kemudian, dia pun meminta maaf atas kata-katanya. Screen
shoot permintaan maafnya itu di-posting oleh akun Twitter @swaragamafm Kamis,
28 Agustus 2014 pukul 8:36 WIB dalam bentuk attachement image.
“Florence
Sihombing memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Jogja via akun Path-nya
juga. #FlashBreak.”. Walau telah meminta maaf di beberapa media sosial dan
menggelar konferensi pers melalui pengacaranya, Florence ternyata tetap
diproses secara hukum. Terutama dengan adanya gugatan dari sejumlah komunitas
di Yogyakarta. Berselang 2 hari, kalimat makian Florence Sihombing membuat
dirinya berurusan hukum. Florence ditahan setelah kasus umpatan di media sosial
yang menghina Yogyakarta dilaporkan ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dari saksi, statusnya naik menjadi tersangka. Pada Sabtu, 30 Agustus 2014 pukul
14.00 WIB dilakukan penahanan terhadapnya. Dia akan ditahan selama 20 hari ke depan.
Juru bicara dan kuasa hukum Florence, Wibowo Malik merasa keberatan dengan
penahanan kliennya. “Tapi kami tidak akan ngomong apa-apa dahulu sebelum
surat-surat sampai menerima surat yang kami minta,” ujar Wibowo di Mapolda DIY,
Yogyakarta. Wibowo pun mempertanyakan dasar penangkapan kliennya. Dia mengaku,
belum mendapat surat perintah penangkapan kliennya. “Apa dasarnya klien kami
ditangkap kalau bukan atas dasar surat perintah penyidikan, betul nggak,” ujar
Wibowo.
Florence
diancam Pasal 311 KUHP Pasal 28 Ayat 2 Tahun 2008 tentang Pencemaran Nama Baik
dengan ancaman hukuman penjara 4-6 tahun. Serta, Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan
ancaman maksimal 6 tahun dan/atau denda Rp 1 miliar.
Sementara
itu, Direktur Reskrimsus Polda DIY Kombes Pol Kokot Indarto menjelaskan,
penahanan dilakukan dengan syarat tersangka dinilai tidak kooperatif,
kecenderungan melarikan diri, dan menghilangkan barang bukti. Menurut Kokot,
selama pemeriksaan, tak ada itikad baik dari terlapor. Bahkan yang bersangkutan
tidak mau menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Sampai tadi tidak mau
BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Biar ada saksi kalau dia tidak mau tanda
tangan. Perlu kita saksi orang korban dan publik,” ujar Kokot.
Menurut
pihak Komunitas Yogya menyatakan bahwa Florence Sihombing justru kembali
melancarkan makian di dunia maya sebelum ditangkap polisi. Florence
mengeluarkan sejumlah tweet baru. Bahkan sejumlah kicauan terbaru itu di
keluarkan Florence dengan menghina atau mengumpat Kepolisian Yogyakarta. Hal
itu dilakukan Florence di media sosial Path dan Twitter.
“Malamnya
kita lihat ada tweet-an baru dari Florence. Yang intinya: ‘Kok saya dipanggil
polisi. Polisi Jogja bego atau tolol gitu’,” tutur Ryan Nugroho mewakili
berbagai Komunitas Yogya di Markas Polda DIY, Kota Yogyakarta, Sabtu, 30
Agustus 2014. Menurut Ryan, aktivitas tweet Florence yang menghina Kota
Yogyakarta sudah dilakukan sejak Februari 2014. Ryan menilai, luapan emosi yang
mengeluhkan Yogya tersebut menandakan jika Florence berbohong jika hanya
melakukan sekali tweet hinaan terhadap Yogya.
“Kalau
dia ngomong yang menjelekkan Kota Yogya sejak Februari. Dia mahasiswa hukum
loh. Jadi dia sadar dan tahu sejak awal tahun melakukan postingan yang sifatnya
mengejek secara halus Yogya. Ini bohong kalau pengacaranya bilang itu curhatan
(curahan hati). Kalau curhat itu kan sekali waktu, nggak dari awal tahun,” ujar
dia. Ryan menjelaskan ada 7 elemen yang melaporkan Florence ke Polda DIY, yakni
Songsong Buono, Gerakan Cinta Indonesia, Revelve for Humanity. Granat DIY,
Komunitas Sepeda Tua, Komunitas Reptile Owner, dan Advokat Muda DIY. Ia
menegaskan selama sebelum penahanan pihaknya menjamin tidak pernah terjadi
intimidasi ataupun teror yang dilakukan masyarakat Yogya. Baik secara langsung
maupun lewat telepon. Sementara aksi bully terhadap Florence di media sosial
dinilai Ryan sebagai hal wajar. Namun ia memastikan, 7 komunitas yang
melaporkan Florence ke polisi tersebut tidak pernah meneror.
“Kalau
di-bully di media sosial itu wajar. Respons. Tapi tidak ada ancaman saya pikir.
Karena kami berkoordinasi dengan berbagai elemen bahwa kita harus menunjukkan
sangat berbalik dengan apa yang dia sangkakan. Kalau disangka orang tolol kita
orang terpelajar. Dan berbudaya bahwa kita tidak melakukan kekerasan apa pun,”
ujar Ryan di Mapolda DIY, Sabtu, 30 Agustus 2014. Ryan menjelaskan pula, saat
pemeriksaan polisi sikap Florence dinilai tidak menandakan rasa penyesalan dan
tak menganggap hal itu sebagai masalah serius. “Mukanya datar seperti nggak ada
rasa penyesalan. Dia tidak anggap ini sebagai masalah serius. Tapi itu dugaan
kami ya. Sebagai manusia boleh menduga dong. Tapi kita nggak tahu juga,” ujar
dia.
Sungguh
ironis. Namun, perkara hukum yang dihadapi Florence Sihombing memang dapat
menjadi pelajaran bagi siapa pun. Terutama pengguna media sosial agar bijak
saat menuliskan status ataupun komentar di dunia maya. Sebaiknya, jika itu
dapat memicu suatu kontra, janganlah dituangkan di media sosial. Karena dalam
sekejap saja, akan banyak menuai protes dari publik yang merasa tidak setuju
dengan apa yang dituliskan oleh kita.
2. Kasus “Penyadapan Australia Terhadap
Indonesia”
Pada
pembahasan sebelumnya, kita telah mengenal sedikit mengenai Telematika .
Baik mengenai tentang definisi, perkembangan telematika, maupun trend
telematika dimasa yang akan datang. Pada postingan kali ini, saya akan membahas
mengenai contoh kasus telematika yang sedang hangat belakangan ini mengenai
penyadapan yang dilakukan Australia pada sejumlah petinggi pemerintahan di
Indonesia yang dianggap melanggar etika kerjasama antar negara.
Pihak
pemerintahan Indonesia secara tegas melayangkan nota protes melalui Menteri
Luar Negeri Marty Natalegawa atas kegiatan penyadapan yang dilakukan Australia
dan AS. Sikap ini merupakan upaya awal sebelum melakukan tindakan keras berupa
pemutusan hubungan diplomatik antar kedua negara. Terungkapnya penyadapan yang
dilakukan Australia dilakukan atas dasar pengkhiatan yang dilakukan oleh mantan
pegawai kontrak Snowden. Tindakan penyadapan yang dilakukan pemerintah
Australia dilakukan untuk mencari informasi secara ilegal sehingga pihak
pemerintah Australia dapat lebih dahulu mengetahui tentang kebijakan apa yang
akan dibuat oleh pemerintah Indonesia.
Tindakan
ini dinilai tidak sehat dalam suatu hubungan diplomatik antar negara karena
dilandasi rasa ingin tau mengenai gagasan atau kebijakan yang akan diambil dari
negara yang disadap. Tindakan penyadapan juga dianggap bertentangan dengan
hukum internasional karena tidak sesuai dengan norma yang diatur dalam
Konverensi tentang Hubungan Diplomatik.
3. Kasus “Cybersquatting”
Cybersquatting
adalah mendaftar, menjual atau menggunakan nama domain dengan maksud mengambil
keuntungan dari merek dagang atau nama orang lain. Umumnya mengacu pada praktek
membeli nama domain yang menggunakan nama-nama bisnis yang sudah ada atau nama
orang orang terkenal dengan maksud untuk menjual nama untuk keuntungan bagi
bisnis mereka . Contoh kasus cybersquatting, Carlos Slim, orang terkaya di
dunia itu pun kurang sigap dalam mengelola brandingnya di internet, sampai domainnya
diserobot orang lain. Beruntung kasusnya bisa digolongkan cybersquat sehingga
domain carlosslim.com bisa diambil alih. Modusnya memperdagangkan popularitas
perusahaan dan keyword Carlos Slim dengan cara menjual iklan Google kepada para
pesaingnya. Penyelesaian kasus ini adalah dengan menggunakan prosedur
Anticybersquatting Consumer Protection Act (ACPA), memberi hak untuk pemilik
merek dagang untuk menuntut sebuah cybersquatter di pengadilan federal dan
mentransfer nama domain kembali ke pemilik merek dagang. Dalam beberapa kasus, cybersquatter
harus membayar ganti rugi uang. Untuk kasus-kasus cybersquatting dengan
menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Pidana Umum, seperti misalnya
pasal 382 bis KUHP tentang Persaingan Curang, pasal 493 KUHP tentang
Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang atau Barang dan Kesehatan Umum, pasal 362 KUHP tentang
Pencurian, dan pasal 378 KUHP tentang Penipuan; dan Pasal 22 dan 60
Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi untuk tindakan domain
hijacking.
SUMBER :
0 komentar:
Posting Komentar