SON0 BLOG's

hy,.. nama gw harsono semoga blog ini bisa berguna untuk kita semua..

Minggu, 04 Januari 2015

3 contoh kasus Telematika

1. Kasus  “Menghina Jogjakarta Lewat Media Sosial, Florence Terjerat Hukum”

            Media Sosial kini memang tengah digandrungi banyak kalangan, mulai dari anak kecil, anak muda hingga orang tua pun banyak yang menggunakannya. Bila tak hati-hati, seseorang pengguna internet bisa berurusan dengan penegak hukum. Termasuk kecerobohan yang membuat mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada (UGM) Florence Sihombing terjerat kasus hukum, akibat kicauannya di media social.
            Ulah Florence ini bermula ketika ia tengah mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) di salah satu SPBU di Yogyakarta. Ia dianggap tidak mau mengantre, saat itu ia yang mengendarai sepeda motor masuk ke jalur mobil di bagian Pertamax 95. Kekesalan Florence pun diungkapkan melalui akun Path miliknya dengan kalimat memaki-maki Kota Pelajar tersebut. “Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja,” tulis Florence dalam Path @florenceje, Kamis 28 Agustus 2014. Makian melalui status di media sosial itu sontak menyebar di dunia maya. Kicauan tersebut pun menuai umpatan di berbagai media sosial. Beberapa waktu kemudian, dia pun meminta maaf atas kata-katanya. Screen shoot permintaan maafnya itu di-posting oleh akun Twitter @swaragamafm Kamis, 28 Agustus 2014 pukul 8:36 WIB dalam bentuk attachement image.
            “Florence Sihombing memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Jogja via akun Path-nya juga. #FlashBreak.”. Walau telah meminta maaf di beberapa media sosial dan menggelar konferensi pers melalui pengacaranya, Florence ternyata tetap diproses secara hukum. Terutama dengan adanya gugatan dari sejumlah komunitas di Yogyakarta. Berselang 2 hari, kalimat makian Florence Sihombing membuat dirinya berurusan hukum. Florence ditahan setelah kasus umpatan di media sosial yang menghina Yogyakarta dilaporkan ke Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari saksi, statusnya naik menjadi tersangka. Pada Sabtu, 30 Agustus 2014 pukul 14.00 WIB dilakukan penahanan terhadapnya. Dia akan ditahan selama 20 hari ke depan. Juru bicara dan kuasa hukum Florence, Wibowo Malik merasa keberatan dengan penahanan kliennya. “Tapi kami tidak akan ngomong apa-apa dahulu sebelum surat-surat sampai menerima surat yang kami minta,” ujar Wibowo di Mapolda DIY, Yogyakarta. Wibowo pun mempertanyakan dasar penangkapan kliennya. Dia mengaku, belum mendapat surat perintah penangkapan kliennya. “Apa dasarnya klien kami ditangkap kalau bukan atas dasar surat perintah penyidikan, betul nggak,” ujar Wibowo.
            Florence diancam Pasal 311 KUHP Pasal 28 Ayat 2 Tahun 2008 tentang Pencemaran Nama Baik dengan ancaman hukuman penjara 4-6 tahun. Serta, Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman maksimal 6 tahun dan/atau denda Rp 1 miliar.
            Sementara itu, Direktur Reskrimsus Polda DIY Kombes Pol Kokot Indarto menjelaskan, penahanan dilakukan dengan syarat tersangka dinilai tidak kooperatif, kecenderungan melarikan diri, dan menghilangkan barang bukti. Menurut Kokot, selama pemeriksaan, tak ada itikad baik dari terlapor. Bahkan yang bersangkutan tidak mau menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Sampai tadi tidak mau BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Biar ada saksi kalau dia tidak mau tanda tangan. Perlu kita saksi orang korban dan publik,” ujar Kokot.
            Menurut pihak Komunitas Yogya menyatakan bahwa Florence Sihombing justru kembali melancarkan makian di dunia maya sebelum ditangkap polisi. Florence mengeluarkan sejumlah tweet baru. Bahkan sejumlah kicauan terbaru itu di keluarkan Florence dengan menghina atau mengumpat Kepolisian Yogyakarta. Hal itu dilakukan Florence di media sosial Path dan Twitter.
            “Malamnya kita lihat ada tweet-an baru dari Florence. Yang intinya: ‘Kok saya dipanggil polisi. Polisi Jogja bego atau tolol gitu’,” tutur Ryan Nugroho mewakili berbagai Komunitas Yogya di Markas Polda DIY, Kota Yogyakarta, Sabtu, 30 Agustus 2014. Menurut Ryan, aktivitas tweet Florence yang menghina Kota Yogyakarta sudah dilakukan sejak Februari 2014. Ryan menilai, luapan emosi yang mengeluhkan Yogya tersebut menandakan jika Florence berbohong jika hanya melakukan sekali tweet hinaan terhadap Yogya.
            “Kalau dia ngomong yang menjelekkan Kota Yogya sejak Februari. Dia mahasiswa hukum loh. Jadi dia sadar dan tahu sejak awal tahun melakukan postingan yang sifatnya mengejek secara halus Yogya. Ini bohong kalau pengacaranya bilang itu curhatan (curahan hati). Kalau curhat itu kan sekali waktu, nggak dari awal tahun,” ujar dia. Ryan menjelaskan ada 7 elemen yang melaporkan Florence ke Polda DIY, yakni Songsong Buono, Gerakan Cinta Indonesia, Revelve for Humanity. Granat DIY, Komunitas Sepeda Tua, Komunitas Reptile Owner, dan Advokat Muda DIY. Ia menegaskan selama sebelum penahanan pihaknya menjamin tidak pernah terjadi intimidasi ataupun teror yang dilakukan masyarakat Yogya. Baik secara langsung maupun lewat telepon. Sementara aksi bully terhadap Florence di media sosial dinilai Ryan sebagai hal wajar. Namun ia memastikan, 7 komunitas yang melaporkan Florence ke polisi tersebut tidak pernah meneror.
            “Kalau di-bully di media sosial itu wajar. Respons. Tapi tidak ada ancaman saya pikir. Karena kami berkoordinasi dengan berbagai elemen bahwa kita harus menunjukkan sangat berbalik dengan apa yang dia sangkakan. Kalau disangka orang tolol kita orang terpelajar. Dan berbudaya bahwa kita tidak melakukan kekerasan apa pun,” ujar Ryan di Mapolda DIY, Sabtu, 30 Agustus 2014. Ryan menjelaskan pula, saat pemeriksaan polisi sikap Florence dinilai tidak menandakan rasa penyesalan dan tak menganggap hal itu sebagai masalah serius. “Mukanya datar seperti nggak ada rasa penyesalan. Dia tidak anggap ini sebagai masalah serius. Tapi itu dugaan kami ya. Sebagai manusia boleh menduga dong. Tapi kita nggak tahu juga,” ujar dia.
            Sungguh ironis. Namun, perkara hukum yang dihadapi Florence Sihombing memang dapat menjadi pelajaran bagi siapa pun. Terutama pengguna media sosial agar bijak saat menuliskan status ataupun komentar di dunia maya. Sebaiknya, jika itu dapat memicu suatu kontra, janganlah dituangkan di media sosial. Karena dalam sekejap saja, akan banyak menuai protes dari publik yang merasa tidak setuju dengan apa yang dituliskan oleh kita.


2. Kasus “Penyadapan Australia Terhadap Indonesia”

            Pada pembahasan sebelumnya, kita telah mengenal sedikit mengenai Telematika . Baik mengenai tentang definisi, perkembangan telematika, maupun trend telematika dimasa yang akan datang. Pada postingan kali ini, saya akan membahas mengenai contoh kasus telematika yang sedang hangat belakangan ini mengenai penyadapan yang dilakukan Australia pada sejumlah petinggi pemerintahan di Indonesia yang dianggap melanggar etika kerjasama antar negara.
            Pihak pemerintahan Indonesia secara tegas melayangkan nota protes melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa atas kegiatan penyadapan yang dilakukan Australia dan AS. Sikap ini merupakan upaya awal sebelum melakukan tindakan keras berupa pemutusan hubungan diplomatik antar kedua negara. Terungkapnya penyadapan yang dilakukan Australia dilakukan atas dasar pengkhiatan yang dilakukan oleh mantan pegawai kontrak Snowden. Tindakan penyadapan yang dilakukan pemerintah Australia dilakukan untuk mencari informasi secara ilegal sehingga pihak pemerintah Australia dapat lebih dahulu mengetahui tentang kebijakan apa yang akan dibuat oleh pemerintah Indonesia.
            Tindakan ini dinilai tidak sehat dalam suatu hubungan diplomatik antar negara karena dilandasi rasa ingin tau mengenai gagasan atau kebijakan yang akan diambil dari negara yang disadap. Tindakan penyadapan juga dianggap bertentangan dengan hukum internasional karena tidak sesuai dengan norma yang diatur dalam Konverensi tentang Hubungan Diplomatik.


3. Kasus “Cybersquatting”

            Cybersquatting adalah mendaftar, menjual atau menggunakan nama domain dengan maksud mengambil keuntungan dari merek dagang atau nama orang lain. Umumnya mengacu pada praktek membeli nama domain yang menggunakan nama-nama bisnis yang sudah ada atau nama orang orang terkenal dengan maksud untuk menjual nama untuk keuntungan bagi bisnis mereka . Contoh kasus cybersquatting, Carlos Slim, orang terkaya di dunia itu pun kurang sigap dalam mengelola brandingnya di internet, sampai domainnya diserobot orang lain. Beruntung kasusnya bisa digolongkan cybersquat sehingga domain carlosslim.com bisa diambil alih. Modusnya memperdagangkan popularitas perusahaan dan keyword Carlos Slim dengan cara menjual iklan Google kepada para pesaingnya. Penyelesaian kasus ini adalah dengan menggunakan prosedur Anticybersquatting Consumer Protection Act (ACPA), memberi hak untuk pemilik merek dagang untuk menuntut sebuah cybersquatter di pengadilan federal dan mentransfer nama domain kembali ke pemilik merek dagang. Dalam beberapa kasus, cybersquatter harus membayar ganti rugi uang. Untuk kasus-kasus cybersquatting dengan menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Pidana Umum, seperti misalnya pasal 382 bis KUHP tentang Persaingan Curang, pasal 493 KUHP tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang atau Barang dan Kesehatan Umum, pasal 362 KUHP tentang Pencurian, dan pasal 378 KUHP tentang Penipuan; dan Pasal 22 dan 60 Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi untuk tindakan domain hijacking. 






SUMBER :

0 komentar:

Posting Komentar